Your Ad Here

Monday, April 16, 2012

Sudomo, Jenderal Bertangan Dingin Era Orde Baru


Jakarta Sejak Sabtu (14/4), orang kuat di masa Orde Baru, Sudomo, dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Pejabat tinggi yang dikenal dekat dengan keluarga Cendana tersebut saat ini sedang menjalani masa-masa kritis. Otaknya mengalami pendarahan hebat, hingga ia harus dirawat intensif.

Setelah sekian lama tidak mendengar kabarnya, berita sakitnya Sudomo tentu cukup mengejutkan. Mendengar 'Sudomo', mengembalikan ingatan sejarah kepada sebuah keadaan politik di tahun 1980-an di era pemerintahan Orde Baru. Kiprah politik Sudomo cukup kontroversial, meski perjalanan karirnya sangat mulus karena kedekatannya dengan Presiden Suharto. Kontroversial sosok Sudomo selalu dikaitkan pelanggaran HAM di masa Orde Baru.

Tak cuma urusan politik dan militer yang membuat Sudomo menjadi pribadi yang menarik. Kehidupan pribadi pria kelahiran Malang, 20 September 1926 juga sempat jadi berita. Dalam perjalanan hidupnya, Sudomo pernah menikah dengan tiga perempuan dalam rentang waktu berbeda. Dengan istri pertamanya, Fransisca Play, Sudomo dikaruniai empat orang anak. Mereka adalah Biakto Trikora Putra, Prihatina Dwikora Putri, Martini Yuanita Ampera Putri, dan Meidyawati Banjarina Pelita Putri. Yang unik, keempat anaknya tersebut diberi nama berdasarkan momentum politik yang mengemuka saat itu.

Selang 10 tahun kemudian Sudomo menikahi Fransiska Diah Widhowaty. Namun pernikahan ini hanya berlangsung empat tahun. Setelah itu, Sudomo menikah dengan Aty Kesumawati. Namun kembali kandas.

Perjalanan karier Sudomo dimulai dari dunia pelayaran yang dijajakinya selepas tamat dari pendidikan SMP pada tahun 1943. Dunia pelayaran mengarahkan ketertarikannya kepada dunia militer. Sudomo muda lalu mulai menapaki dunia militer dengan mengikuti pendidikan Perwira Special Operation dan kursus Komandan Destroyer Gdyna, Polandia. Sudomo menamatkan pendidikannya itu tahun 1958. Di sinilah dimulainya kiprah militer Sudomo.

Prestasinya di dunia militer dan pelayaran membantu kelancaran pendidikannya untuk terus menempuh pendidikan di luar negeri. Sudomo juga sempat mengikuti pendidikan di Lemhannas, Sekolah Para Komando KKO, dan SESKOAL. Sejumlah operasi militer di bawah komando presiden Sukarno juga pernah dijalankannya. Misalnya, pertempuran di Laut Arafuru dan pembebasan Irian Barat. Dua perang itu menjadi cerita kesuksesannya dalam karier militer Sudomo. Kecemerlangan Sudomo terus berlanjut di era Soeharto.

Di masa pemerintahan Orde Baru ini, Sudomo tercatat pernah mengemban amanah sebagai Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) tahun 1978-1983 dan Kepala Staf TNI AL (1969-1973).

Tidak cukup berkarier di militer, sejumlah posisi politik di pemerintahan pernah diembankan Presiden Soeharto ke pundaknya. Sudomo sempat merasakan kursi Senayan dengan menjadi anggota MPR RI, menjabat Menteri Tenaga Kerja (1983-1988), Menko Polkam (1988-1993), dan puncaknya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1993 hingga 1998. Kariernya berakhir dengan runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru pada tahun 1998 dengan terjadinya reformasi. Posisinya yang penting di masa Orba, membuat publik menilanya sebagai salah seorang kroni Soeharto.

Sejarah kontroversial Sudomo dimulai ketika dirinya menjabat Pangkopkamtib dan Menko Polkam di era Orde Baru. Era awal tahun 1980-an hingga akhir 1990-an merupakan salah satu penggalan sejarah berdarah politik Indonesia. Karena pada kurun waktu itu, rezim Orde Baru memberlakukan UU Subversif. Dunia intelijen Indonesia yang mendapat pembenaran penuh di bawah UU Subversif, diwarnai oleh tangan dingin Sudomo. Sudomo mampu mengendalikan sejumlah kemelut dan konflik sosial-politik di sejumlah daerah. Dunia intelijen Indonesia ketika itu sangat terwarnai oleh tangan dingin trio jenderal, yaitu Sudomo, LB Moerdani dan Yoga Soegama.

Salah satu kasus mencuat yang menarik-narik Sudomo adalah dugaan pelanggaran HAM kasus Talangsari, Lampung, yang terjadi pada 1989 dan juga katabelece Edi Tansil.

Di usia senja, Sudomo mengisi waktunya dengan kegiatan keagamaan. Dia rajin ke masjid, termasuk untuk salat subuh. Bahkan dalam suatu kesempatan, dia mengaku hidupnya dimulai di usia 75 tahun.

Saat ini, Sudomo menginjak usia yang ke-86. Sudomo tengah berjuang melawan sakit keras yang dialaminya. Dia dirawat intensif akibat pendarahan otak yang tiba-tiba menyeranganya ketika hendak mengadiri sebuah pernikahan keluarga, Sabtu (14/4) lalu.

"Bapak sebelumnya belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Banyak faktor, mungkin karena tekanan darah tinggi. Bapak belum bisa diajak bicara, masih diinfus dan dirawat intensif," ujar anak pertama Sudomo, Biakto Putra, Senin (16/4/2012).

0 comments:

Post a Comment