Jakarta — Pemerintah akhirnya memutuskan melakukan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium hanya untuk kendaraan dinas pemerintah, termasuk kendaraan milik BUMN dan BUMD.
Namun, atas keputusan pemerintah tersebut, kini muncul sejumlah pertanyaan. Di antaranya, dari mana pemerintah akan menutup anggaran biaya BBM non subsidi yang digunakan aparatur negara?
Selain itu, berapa puluh ribu kendaraan dinas yang ada dan berapa kebutuhan BBM mereka per bulan? Hitungannya pasti akan puluhan triliun rupiah.
Anggota Komisi VII DPR, Dewi Aryani, melihat, dengan adanya aturan ini maka akan ada pemborosan APBN, karena kendaraan dinas yang selama ini memakai BBM subsidi akan beralih ke non subsidi.
Dengan begitu, biaya yang akan dikeluarkan akan melambung. “Ini modus pemborosan APBN gaya baru,” demikian ia menyikapi keputusan pemerintah tersebut, di Jakarta, Jumat (4/5/2012).
Selain itu, terkait kendaraan untuk kegiatan pertambangan dan perkebunan dilarang menggunakan BBM bersubsidi, Dewi sepaham.
Namun, kata dia, tetap harus dikontrol benar distribusi dan pengawasannya di lapangan. Supaya tidak terjadi tebang pilih.
“Perusahaan pertambangan besar, termasuk BUMN juga diberikan equal treatment. Jadi semua peraturan berlaku sama dengan punishment yang proporsional dan sama,” tegasnya.
Lebih lanjut, mengenai keputusan pemerintah melanjutkan konversi BBM ke BBG di Jawa, Dewi balik mempertanyakannya. Pasalnya, konversi ini sudah bertahun-tahun diwacanakan.
Namun, infrastruktur sampai sekarang masih juga belum berjalan sebagimana mestinya sesuai dengan rencana yang digaungkan.
“Bagaimana bisa ada istilah dilanjutkan? Dimulai saja belum, kok. Belum lagi sumber gas dari mana? Soal gas pemerintah harus segera membuat rancangan kerja konkrit dari hulu ke hilirnya. Blok gas mana yang akan diproduksi segera, pricing policynya bagaimana? DMO untuk PLN, rumah tangga, industri, transportasi, dan sebagainya bagaimana? Semua masih jauh panggang dari api,” kritiknya.
Selain itu, terkait larangan PLN membangun dan mengoperasikan pembangkit berbasis BBM, Dewi menegaskan bukan hanya itu saja. PLN harus mereview pemangkit-pembangkitnya.
Ke depan tidak tren lagi pembangkit berbasis BBM tapi harus mulai beralih berbasis batubara cair, padat (dari low cal) dan berbasis gas dan renewable energi.
“Karenanya pembangunan di pusat-pusat sumber energi amat penting,” jelas dia. Dewi Aryani juga sepakat atas keputusan pemerintah melakukan penghematan energi pada gedung-gedung pemerintahan.
Tapi harus diberlakukan dengan prepaid payment system. “Pembayaran listrik dengan pra bayar. Ini sudah saya usulkan 2 bulan lalu kepada pemerintah pada saat RDP dengan komisi VII,” ujarnya.
Sumber : tribunnews.com
0 comments:
Post a Comment