Your Ad Here

Sunday, June 10, 2012

Jadi Legenda, Sudono Salim Jaya di Era Soeharto

Jadi Legenda, Sudono Salim Jaya di Era Soeharto
Jakarta : Dalam dunia bisnis, nama taipan Sudono Salim atau lebih dikenal dengan Liem Sioe Liong, sudah menjadi legenda. Dia adalah pendiri Grup Salim yang bisnisnya tersebar di berbagai perusahaan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengatakan Liem adalah pengusaha yang sangat sukses di era Presiden Soeharto. Namun bisnisnya sempat meredup setelah krisis ekonomi menghantam pada 1997 lalu. "Dia mengambil keputusan penting dengan menyerahkan usahanya ke anaknya, Anthony Salim," katanya, Minggu 10 Juni 2012.

Bisnisnya berjaya ketika Liem dekat dengan bekas penguasa negeri ini, Presiden Soeharto. Dalam Majalah edisi 04 Februari 2008 berjudul Tak Roboh Diterpa Badai, persahabatan keduanya merupakan bagian dari cerita panjang sejarah Orde Baru.

Hubungan Soeharto dengan Liem berawal sejak ia memasok kebutuhan tentara pada 1950-an. Saat itu, Soeharto menjabat sebagai Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah. Salim menggandeng sahabatnya Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono mendirikan PT Waringin Kentjana, yang merupakan cikal-bakal imperium bisnis Grup Salim.

Liem menikmati aneka fasilitas ketika Soeharto menjadi Presiden. Pada 1971-1972, keduanya sepakat membangun pabrik tepung terigu raksasa, PT Bogasari Flour Mills-cikal-bakal Indofood-di Jakarta dan Surabaya.

Sebagai bentuk proteksi, pesaingnya dari Singapura hanya diizinkan beroperasi di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, dan menggarap pasar Indonesia bagian timur. Pasar utama di Indonesia bagian barat-dengan pangsa 80 persen-khusus digarap Bogasari.

Keberhasilan sang taipan juga ditopang dari bisnisnya di perbankan melalui Bank Central Asia, yang didirikan 21 Februari 1957. Namun krisis ekonomi ikut menghantam kejayaan BCA. Bank ini harus beralih kepemilikan setelah mendapat suntikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 60 triliun.

Pada 2000, BCA menjadi perusahaan publik setelah secara bertahap diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada 2009, porsi saham Liem melalui anaknya, Anthony, tinggal 1,76 persen. Komposisi terbesar dimiliki keluarga PT. Djarum, Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono sebanyak 47,15 persen, dan saham publik 49,94 persen.

Menurut pengamat ekonomi sekaligus pendiri Independent Research and Advisory Indonesia, Lin Che Wei, ketika Soeharto jatuh, Liem terkena dampaknya. "Tapi dia menerima," katanya.

Liem harus kehilangan aset-asetnya seiring jatuhnya Soeharto, termasuk BCA. Che Wei menuturkan, sebuah perusahaan Holdiko Perkasa, bahkan sengaja dibentuk pemerintah untuk menjual satu per satu aset Salim.

Setelah terpuruk, dibawah kepemimpinan Anthony, Grup Salim kembali membangun bisnis dengan bermodal perusahaan-perusahaan yang masih tersisa, seperti Indofood dan perusahaan CPO. Anthony berhasil menghidupkan kembali warisan sang ayah, meski masa kejayaan.

Grup Salim belum kembali seperti dulu. "Sekarang tidak pernah menjadi nomor satu lagi. Sebab setelah reformasi, mereka tidak mau terlalu agresif," kata Che Wei.

Sedangkan Liem, sejak kerusuhan meletup pada Mei 1998, memilih menghabiskan hari tuanya di Singapura.

Sumber : TEMPO.CO

0 comments:

Post a Comment